Kondisi Kawasan
Hutan Hujan di Asia Tenggara
Hutan hujan di kawasan Asia Tenggara adalah kawasan hutan
hujan tertua, kawasan yang tetap konsisten di bumi, per jaman Pleistocene 70
juta tahun yang telah lalu. Kawasan ini memiliki kekayaan biologis and keberagaman
yang tak tertandingi bahkan dengan hutan Amazon atau hutan hujan Afrika. Nmaun
sayangnya, Asia Tenggara telah mulai kehilangan hutan hujannya lebih cepat
daripada daerah ekuator lainnya, dan memiliki kawasan hutan hujan primer paling
sedikit. Diperkirakan bahwa
sebagian besar kawasan hutan hujan primer di Asia Tenggara akan hancur dalam 10
tahun mendatang.
Asia
Tenggara dengan panjang 3.100 mil (4.990 km), merupakan untaian panjang dari sekitar 20.000 pulau yang terbentang
antara Asia dan Australia. Mencakup area seluas 1.112.000 mil persegi
(1.789.590 km persegi), sekitar dua kali luas Alaska. Kawasan ini terbentang
dari 20° lintang utara (LU) sampai 16° lintang selatan (LS), antara 95° bujur
timur (BT) sampai 105° BT. Suhu rata-rata harian bervariasi antara 70°F (21°C) sampai
90°F (32°C). Kelembaban selalu tinggi di daerah ini.
Jutaan tahun lalu, saat belahan dunia lain melalui
masa-masa pendinginan dan pemanasan, iklim di Asia Tenggara terjaga kurang
lebih tetap sama. Hal ini terutama disebabkan oleh posisinya di garis ekuator
and kawasannya yang dikelilingi oleh perariran. Karena iklim di ekuator tidak
banyak berubah, dan samudera di sekitarnya menyediakan begitu banyak kelembaban
dalam bentuk hujan, maka kawasan ini dapat memiliki kawasan hutan yang stabil
(konsisten) dalam rentang waktu yang teramat panjang. Seiring naik turunnya
ketinggian air laut karena pemanasan dan siklus pembentukan es, sejumlah
kantung kecil hutan tetap terpelihara sebagai ”refugia hutan” atau kawasan
kehidupan liar, dimana berbagai spesies dapat mempertahankan dirinya. Malaysia
dan pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, adalah bagian dari kawasan daratan yang
sama selama masa es terakhir. Ketika jaman es mencair dan ketinggian air laut
bertambah, banyak dari kawasan-kawasan ini terpisah satu sama lain. Hal ini
memaksa berbagai spesies untuk mengembangkan bentuk evolusi khasnya untuk
merespon lingkungan lokal mereka, yang berujung pada kenaekaragaman spesies
berbagai mahluk hidup yang sangat mengagumkan.
Satu hal yang menarik dari hutan hujan dataran rendah di
Malaysia, Kalimantan, dan Sumatera, adalah dominasi dari salah satu keluarga
tanaman, Dipterocarpaceae. Dipterocarpaceae adalah pohon timbul dan bisa
mencapai tinggi 120 kaki (36,5 meter). Mahkota tanaman ini disokong di atas
batang tubuh yang besar dan lurus. Banyak tanaman epifit, seperti anggrek,
pakis dan paku, tumbuh pada pohon ini. Liana, tanaman merambat, dan tanaman
pembelit melingkar pada pohon ini karena pertumbuhannya menuju cahaya matahari.
Spesies yang muncul adalah tualang (Koompassia excelsa) yang bisa mencapai tinggi 280 kaki (85
meter). Pohon ini adalah spesies tanaman tertinggi ke-3 di dunia, dan tidak
bisa ditebang karena batang kayunya yang keras dan lapisan dinding yang tebal. Tapi
hal yang paling penting adalah merupakan sarang dari lebah madu besar ((Apis
dorsata) yang sarang madunya tergantung seperti baji besar dari bagian
bawah dahan pohon tersebut. Pohon ini jauh lebih berharga jika dibiarkan tetap
tegak berdiri.
Pepohonan dan semak di kanopi bagian bawah memiliki
mahkota yang menjulur seiring dedaunannya yang menuju cahaya mentari. Spesies yang toleran terhadap
bayang-bayang (daerah remang-remang) akan tumbuh subur disini. Dedauanan akan
dibentuk dengan sudut terbaik untuk menangkap cahaya. Sambungan khusus di
bagian bawah batang, disebut pulvinus, memutar orientasi daun sehingga bisa
mengikuti arah cahaya mentari.
Di
bagian dasar hutan, tanah sangat dangkal dengan kebanyakan nutrisi berada dekat
ke permukaan. Sampah dedaunan dan pohon yang telah mati, akan diurai dan hancur
oleh jamur, serangga, dan pengurai lainnya. Nutrisi hasil uraian akan segera
diambil oleh biomass hutan. Karena nutrisi berada dekat dengan permukaan, akar-akar
tidak tumbuh terlalu dalam, dan pohon telah beradaptasi dengan mengembangkan
akar berpelapis sampai setinggi 30 kaki (9 meter), atau akar yang menggelantung
dari cabang dan dahannya.
Ada beberapa hubungan mutualistis di antara ekosistem
kawasan hutan hujan. Kelelawar subuh adalah penyebar benih utama dari pohon
durian. Tiap-tiap ratusan species pohon ara memiliki spesies lebah penyebar
benihnya masing-masing (Agaoninae spp), dimana tanpa lebah ini pohon ara
tersebut akan segera mengalami kepunahan dan begitu juga sebaliknya. Siamang
perak (Hylobates moloch) menjalani
kehidupannya di tedung hutan dipterocarp bagian atas, dan tidak pernah turun ke
daratan hutan. Keberlangsungan hidup mereka sangat tergantung terhadap pohon
dipterocarp dan pohon ara yang memberi tempat tinggal dan menjadi sumber
makanan selama hidupnya. Keterkaitan antara hutan hujan tropis dan ekosistem
tersebar menjadi ribuan pohon yang mendukung beraneka mamalia dan jenis burung.
Jika ada spesies kunci ini punah, maka kepunahan berantai akan dipicu dan
menimbulkan efek domino dari kepunahan.
Pepohonan tidak berbunga dan
berbuah pada saat yang bersamaan di kawasan hutan hujan Asia Tenggara. Beberapa
pohon hanya berbuah sekali dalam 3 tahun, kadang hanya sekali tiap 10 tahun.
Siklus nutrisi yang pendek menyebabkan sangat sulit bagi pepohonan untuk
memproduksi jumlah buah yang banyak dalm kurun waktu yang teratur. Banyak
pepohonan yang menyelesaikan siklus berbunga dalam satu hari, dan hanya mau
menerima dalam beberapa jam selama siang atau malam. Hanya sedikit pepohonan
yang tergantung pada angin untuk polinasi, dikarenakan tipisnya kandungan air
di daerah kanopi yang rapat ini. Pepohonan ini sangat bergantung pada hewan dan
serangga untuk polinasi dan penyebaran benihnya. Pepohonan yang muncul, seperti
kapuk (Ceiba pentandra), dipterocarp, atau tualang, yang bisa tumbuh
hingga mencapai ketinggian 240 kaki (73 meter), dapat memiliki benih yang
beterbangan di udara. Mahkota mereka tumbuh jauh di atas tedung kanopi dan
terpapar oleh angin yang bertiup disana.
Saat benih jautuh ke daratan, mereka
cenderung perlu untuk berkecambah di daerah yang teduh. Daerah dasar hutan
adalah kawasan yang sangat sulit untuk memulai kehidupan, banyak benih
membungkus diri dengan tepung yang berdaging dan beraroma sebagai sumber
makanan cepat. Bau memiliki peranan penting dalam siklus kehidupan tanaman, dan
banyak tanaman akan memiliki bau bunga dan buah yang menyengat. Pohon Rafflesia
berbau seperti bangkai busuk, dan durian berbau seperti terlalu buruk untuk
dimakan, walaupun dikenal sebagai Rajanya Buah dan rasanya yang nikmat. Bau
yang menyengat ini menarik hewan dan serangga yang akan memakan dan menyebarkan
benih ini jauh dari pohon induknya.
Ratusan jenis hewan dan
tanaman sedang diambang batas kepunahan di kawasan Asia Tenggara. Hewan yang
kritis terancam adalah badak Sumatera bercula dua, selamat di kantung kecil hutan
di Sumatera dan Kalimantan. Keseluruhan populasinya diperkirakan hanya berkisar
300 sampai 500 ekor. Badak Jawa telah masuk dalam kepunahan. Harimau Sumatera,
seperti halnya sepupunya Harimau Jawa juga akan segera mengalami kepunahan.
Gajah Asia adalah herbivor hutan berukuran besar yang memerlukan hutan cukup
luas untuk bisa bertahan. Pemukiman manusia dan penebangan pohon telah
mempersempit habitat hidup mereka sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
makanan gajah. Tapir Malaya adalah spesies tapir terbesar diantara total 4
spesies tapir yang masih hidup, dan tidak lebih dari 50 ekor masih hidup liar
di hutan. Hewan lain yang hanya bisa ditemui di Sumatera dan Kalimantan adalah
orang hutan, atau manusia hutan. Mereka dulunya bisa ditemukan di daratan utama
Asia, dari Thailand sampai China Selatan. Mereka kebanyakan memakan buah dan
bergerak di dalam hutan mengikuti pepohonan yang berbuah. Terdapat 13 spesies
terpisah dari primata di hutan daratan rendah di kawasan Kalimantan. Kebanyakan
memiliki kawasan tempat tinggal yang tumpang tindih, namun memiliki diet dan
cara mencari makanan yang berbeda-beda.
Iklim di Asia Tenggara
diklasifikasikan sebagai iklim tropis basah dalam sistem zona iklim Koppen. Iklim dipengaruhi
oleh sitem angin laut yang berasal dari Samudera Hindia dan Laut China Selatan.
Memiliki dua musim hujan. Musim hujan daerah timur laut terjadi antara bulan
Oktober sampai Februari dan membawa hujan lebat di bagian timur kepulauan.
Badai ini membawa efek seperti halnya badai Atlantik, tapi lebih banyak
menghabiskan energinya di kawasan Filipina. Musim hujan barat daya lebih
bertenaga dan terjadi antara bulan April sampai Agustus. Hujan lebat membuat jenuh kawasan barat dari rangkain kepulauan ini. Efek
bayangan hujan menciptakan kondisi lebih kering namun berangin di kawasan
berseberangan dari kepulauan ini serta semenanjung Malaysia pada musim
hujannya. Terdapat juga dua musim antar hujan di antara dua musim hujan utama
tersebut. Hutan hujan kawasan Asia Tenggara mencapai curah hujan rata-rata 79
inci (200 cm) per tahun.
Segala perubahan siklus musim
penghujan dapat menyebabkan dampak yang sangat merusak. Di tahun 1992-1993,
salah satu kebakaran hutan terjadi di Kalimantan. Pembabatan hutan yang meluas
telah menurunkan jumlah hutan primer dan membuatnya rentan terhadap kebakaran.
Kekeringan yang dibawa oleh El Nino pada tahun itu telah menyebabkan bencana
alam ketika api pertanian meluas tak terkendali. Sebanyak 27.000 km persegi
terbakar tanpa kendali.
Kejadian yang sama terulang pada tahun 1998. Efek El Nino
pada tahun tersebut menyebabkan musim hujan yang sangat lemah. Ribuan areal
hutan terbakar di kawasan Malaysia dan kepulauan Indonesia, menghancurkan hutan
hujan beserta tanaman dan hewan di dalamnya. Awan asap menyebar sampai ribuan
mil melintasi kawasan-kawasan tersebut. Simbiosis mutualisme juga telah dihancurkan, spesies-spesies
penghubung lenyap. Masih belum jelas apa akibat dari kebakaran tahun 1998
ini pada ekosistem hutan hujan. Namun sayangnya, pada tahun 2002, El Nino yang
kuat juga terulang dan bergejolak di kawasan Pasifik.
Di Indonesia, pembabatan hutan ilegal telah mengarah
kepada “kehancuran biologis” yang mempengaruhi ribuan tanaman dan spesies hewan,
serta mengacaukan keseimbangan biologis alamiah yang menyebabkan kawasan hutan
hujan tetap sehat dan stabil. Simbiosis mutualisme yang mempertahankan banyak
spesies telah digoyahkan dan dapat berujung pada kepunahan massal. Bagi
tanaman, hewan, dan banyak spesies-spesiesnya, yang menempati kawasan hutan
hujan di Asia Tenggara, mungkin akan menjadi terlambat dan tidak akan ada
”kantung pengungsian” tersisa untuk mempertahankan spesiesnya.
Pengkotak-kotakan habitat akan menyebabkan lebih banyak interaksi hewan liar
dengan manusia, dan banyak diantara hewan ini akan dibunuh, atau ditangkap
untuk perdagangan hewan. Banyak spesies akan menjadi punah, bahkan sebelum
perannya di hutan hujan diketahui, dan ekosistem hutan hujan di Asia Tenggara
akan runtuh.
E.
Benders-Hyde 2002
Sumber:
Kalau anda perduli
dengan Alam Lingkungan, mari kita dukung program penghijauan, yg bermanfaat bagi
Ekologi dan juga Ekonomi.
Info & Pendaftaran:
HP: 085 739 431 843
BB: 74 ED 93 D7
Whatsapp, Line, SMS: 089 627 9911 56
YM:
agropenghijauan
Skype:
agro.penghijauan
http://www.manfaatpenghijauan.com
ReplyDeleteInfo & Pendaftaran:
HP: 085 739 431 843
BB: 74 ED 93 D7
Whatsapp, Line, SMS: 089 627 9911 56
YM: agropenghijauan
Skype: agro.penghijauan
http://www.bisnismanfaatpenghijauan.com