Indonesia kehilangan hampir
$ 9 milyar pendapat negara, dalam kaitan pendapatan penjualan kayu antara 2003
dan 2014, demikian menurut laporan terakhir investigasi kepresidenan oleh
agensi anti suap nasional dalam hal sektor sumber daya alam negara.
Penyelidikan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat membantu membawa cahaya terang dalam
remang-remangnya sektor dunia perkayuan Indonesia, dimana ukuran laporan yang
pincang, korupsi, dan keterkaitan dengan pemimpin daerah, petugas kehutanan,
dan perusahaan-perusahaan komoditi, yang semuanya menghambat usaha-usaha untuk
membangun keberlangsungan negara. Ini mencerminkan bagaimana pemerintah pusat,
walaupun dengan usaha berulang-ulang, tetap berjuang untuk membersihkan dunia
industri dimana perusahaan komoditi mempunyai pengaruh kuat di lapangan, dan
data-data resmi menunjukkan fakta-fakta kecil diantaranya.
“Pemerintah tidak mempunyai
data akurat tentang kekayaan alam negara,” demikian kata Hariadi Kartodihardjo,
seorang peneliti kehutanan dengan KPK yang mengerjakan laporan tersebut. “Hanya perusahaan
pribadi yang memiliki data tentang keseluruhan inventaris keberadaan pohon.
Pemerintah hanya bergantung pada teknik ekstrapolasi statistik dari beberapa
sampel untuk memperkirakan jumlah totalnya.
KPK menemukan bahwa penjualan kayu yang tidak dilaporkan telah dikerdilkan oleh
pemerintah pusat selama periode 12 tahun, dengan total penebangan aktual di
lapangan sekitar lima kali laporan resmi. Menurut laporan tersebut, auditor
Indonesia mencatat 143,7 juta meter kubik kayu dipanen antara 2003 dan 2014,
sementara tambahan sekitar 629,1 juta meter kubik menghilang di pasar gelap.
Sebagai hasilnya, Indonesia kehilangan kira-kira $ 6,5 – 8,9 milyar pendapatan
negara dari pajak dan retribusi, dan perusahaan-perusahaan kayu gelap
mengantongi kira-kira $ 60,7 – 81,4 milyar dari pasar gelap kayu dalam periode
yang sama, demikian temuan dari investigasi para peneliti KPK.
Para peneliti memperkirakan jumlah penjualan kayu di pasar gelap dengan
membandingkan data resmi dan kesimpulan mereka, didasarkan pada perkirakan
dunia industri dan data pemerintah pada laju ijin perambahan. Para ahli telah
lama mencurigai bahwa auditor kayu negara telah meremehkan dengan sangat parah
data-data produksi, merujuk pada keterkaitan kolusi antara petugas kehutanan
dan perusahaan penebangan kayu.
“Ini mencerminkan betapa perusahaan-perusahaan gelap telah bersembunyi
dibalik lemahnya penegakan hukum di negara ini,” kata Annisa Rahmawati, seorang
aktivis kehutanan di Greenpeace Indonesia, merespon investigasi KPK. ”Korupsi
dikaitkan dengan sistem yang buruk dari pemerintah, yang hanya mendapatkan
keuntungan pribadi dengan mengorbankan negara dan masyarakat.”
KPK menolak menyebutkan perusahaan
individu dalam laporan tersebut, namun salah satu pejabat menyatakan,
berdasarkan bukti sebelumnya, baik operator skala kecil maupun perusahaan
multinasional besar telah terlibat dalam penjualan kayu ilegal Indonesia .
“Meskipun KPK tidak
menyelidiki perusahaan tersebut, ini juga bisa terjadi pada perusahaan besar,”
kata Kartodihardjo. ”Ini dibuktikan oleh studi KPK sebelumnya yang menunjukkan
bahwa suap dan korupsi dalam hal perijinan konsesi kehutanan juga melibatkan
perusahaan-perusahaan besar.”
Investigasi KPK
dilaksanakan atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang berjanji untuk
menghancurkan korupsi di dunia pertanian, sektor pertambangan dan perikanan
selama masa pertama periode pemerintahannya, kata Kartodihardjo. Temuan agensi akan
dibahas oleh pejabat-pejabat kementerian terkait, sebelum pemerintah pusat
memutuskan langkah selanjutnya.
Nama-nama baru, masalah tetap sama
Indonesia telah menghadapi kritik berulang-ulang atas kegagalannya
melindungi salah satu dari hutan hujan terbesar tropis dunia. Di tahun 2011,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan moratorium dua tahun untuk
perijinan baru membuka hutan primer atau pengeringan lahan gambut. Tapi setahun
kemudian, penebangan kayu liar dilaporkan mencapai hampir 80 juta meter kubik,
sementara data resmi hanya menunjukkan penurunan tajam dari jumlah produksi
kayu, demikian menurut laporan KPK.
SBY memperpanjang moratorium itu di tahun 2013 di tenagh-tengah tekanan
dari para pengusaha industri untuk menghapuskan semuanya. Tapi SBY menolak yang
menutup celah untuk memungkinkan perusahaan untuk terus membuka lahan dan hutan
sekunder. Ketika Presiden Jokowi kembali memperbaharui memoratorium itu di
tahun pertama pemerintahannya dikantor, beliau juga tetap mempertahankan
keputusannya.
Sekarang, perambahan hutan oleh tanaman budidaya dan perusahaan
pertambangan tetap memicu laju penurunan jumlah hutan di Indonesia. Pemerintah
pusat mengijinkan perusahaan-perusahaan ini untuk menjual kayu hasil penebangan
dengan memberi mereka ijin pemanfaatan kayu (IPK).
Di tahun 2000, pemerintah pusat mulai menekan perusahaan pertanian untuk
mengadopsi model pertanian yang kini banyak dipakai, penerapan sistem agar
lebih berkelanjutan dan mengurangi resiko finansial daripada merambah atau
menebang arela lahan konsensi. Sejak saat itu, perusahaan-perusahaan mulai
berkomitmen untuk menghentikan penebangan hutan dan lahan gambut, dan
menerapkan janji mereka untuk meningkatkan taraf kesuksesan.
Sementara itu, sektor perkebunan negara tumbuh tujuh kali lipat menjadi 7,8
juta hektar antara tahun 1990 dan 2010, demikian menurut laporan tahun 2014
dari NGO (lembaga non pemerintah) berbasis di London-Inggris, yang bernama Environmental
Investigation Agency (EIA). Pada tahun 2012, laju penebangan hutan di Indonesia
meningkat melebihi 2 juta hektar per tahun, melampaui perkiraan tahunan pada
era Presiden Suharto, di tengah usaha mereformasi sektor kehutanan di kalangan
negara-negara Internasional.
Ketika investigasi sebelumnya terhadap sektor perkayuan negara menemukan
bukti tentang penebangan kayu yang tidak terdaftar di masa lalu, para ahli
menyatakan bahwa estimasi sebelumnya terfokus pada pencurian kayu selama masa
Orde Baru. Kelompok lingkungan dilaporkan berharap bahwa tingkat penebangan
ilegal ini adalah gejala dari korupsi era Suharto, tapi investigasi oleh KPK
dan EIA, dan juga oleh laporan terakhir dari Forest Trends dan Anti-Forest
Mafia Coalition (Koalisi Anti Mafia Hutan), masih mempertanyakan tentang
keberhasilan era reformasi membawa dampak terukur terhadap penjualan kayu di
pasar ilegal.
“Anda tidak bisa menyatakan telah ada peningkatan sejak jaman Orde Baru,”
kata Mouna Wased, seorang peneliti dari pengawas anti suap Indonesia Corruption
Watch (ICW). ”Pengalihfungsian hutan yang masih terus berlangsung karena
konsesi minyak sawit dan pertambangan, telah memberi tempat untuk aktivitas
ilegal yang akhirnya akan menimbulkan kerugian yang sangat besar kepada
negara.”
Kartodihardjo dari KPK malah lebih langsung dalam penilaiannya, menjelaskan
bahwa ”Kondisi di lapangan tetaplah sama saja, seperti halnya di mas Orde Baru.
Perbedaannya hanyalah pemainnya saja yang berganti,” katanya.
Dipublikasikan oleh Philip
Jacobson pada 9 November 2015.
Kalau anda perduli
dengan Alam Lingkungan, mari kita dukung program penghijauan, yg bermanfaat
bagi Ekologi dan juga Ekonomi.
Info & Pendaftaran:
HP: 085 739 431 843
BB: 74 ED 93 D7
Whatsapp, Line, SMS: 089 627 9911 56
Skype:
agro.penghijauan